Selasa, 16 April 2013

Honorer Non-Kategori Harus Pahami Regulasi


Jakarta-Humas BKN, “Berhati sejuk untuk meraih cita-cita yang baik,” begitulah pepatah yang disampaikan Kasubbag Publikasi Humas BKN Petrus Sujendro mengakhiri pertemuan kunjungan konsultasi Komisi I DPRD dan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Pemerintah (BKPP) Kabupaten Cirebon di Kantor  Pusat BKN Jakarta, Senin (8/4).  Kunjungan badan legislatif dan eksekutif tersebut mendampingi perwakilan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kab.Cirebon Non-Kategori dalam pendataan tenaga honorer Jilid II.
Kasubbag Publikasi Humas BKN Petrus Sujendro (kanan) dan Pimpinan Komisi I Kab. Cirebon.
Kunjungan rombongan tersebut bermaksud mencari kejelasan informasi terkait status sebagian Satpol PP Kab Cirebon yang tidak masuk Kategori seperti rekan mereka lainnya. Menurut Elly Nurlili, salah seorang perwakilan Satpol PP Kab.Cirebon, menyatakan bahwa mereka  tidak masuk dalam kategori karena SK Pengangkatan sebagai anggota Satpol PP terhitung sejak Oktober 2005.

Menanggapi pernyataan tersebut Petrus Sujendro menjelaskan bahwa regulasi yang ada tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS, mengatur bahwa masa kerja yang harus dimiliki tenaga honorer untuk bisa didata (dimasukkan Kategori – red) adalah tenaga honorer yang pada 31 Desember 2005 memiliki minimal 1 tahun masa kerja. Dengan demikian menurut Petrus bahwa anggota Satpol PP Kab. Cirebon yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun tersebut tidak bisa dimasukkan baik dalam K. I maupun K. II. Dengan demikian tenaga honorer non–Kategori harus mengedapankan kejernihan berfikir dengan memperhatikan regulasi yang ada saat ini. Namun demikian  Petrus Sujendro menyampaikan bahwa pihak BKN telah menginventarisir permasalahan serupa yang terdapat di berbagai Instansi.
Konsultasi Rombongan DPRD Ka. Cirebon dengan BKN.
Terdapat 264 anggota Satpol PP di Pemerintah Kab.Cirebon. Dari total tersebut 57 anggota Satpol PP bekerja terhitung sejak Oktober 2005. Subali/Judith

HONORER K-2 TIDAK PERLU TES

Jumat, 12 April 2013 08:52
Jakarta - Humas BKN, “Kami berharap tenaga honorer K.II yang sudah diumumkan tidak perlu ada tes untuk bisa diangkat menjadi CPNS,” harap Ketua Komisi A DPRD Kab. Labuan Batu Utara (Labura) Harizon Sipahutar. Harapan tersebut dilontarkannya saat melakukan kunjungan kerja bersama 11 anggota rombongan lainnya ke Kantor Pusat BKN, Kamis (11/4). Jika tetap dilakukan seleksi, Harizon Sipahutar memprediksi akan terjadi kesenjangan sosial antara yang lulus dengan yang tidak serta akan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Kunjungan kerja DPRD Kab. Labura, Sumatera Utara di Ruang Rapat Mawar Kantor Pusat BKN Jakarta.
Menanggapi harapan tersebut Kepala Bagian Humas Tumpak Hutabarat menyampaikan bahwa saat ini proses penyelesaian K.II baru pada tahap uji publik. Dari hasil uji publik tersebut diharapkan akan ada listing K.II yang valid. Tumpak Hutabarat juga menjelaskan bahwa kebijakkan yang ada, terkait K.II, mereka akan diseleksi untuk bisa diangkat menjadi CPNS.
Anggota DPRD Labura sedang berkonsultasi.
Namun demikian, mengakhiri penjelasannya Tumpak Hutabarat menekankan untuk bersama-sama mentaati dan melaksanakan regulasi yang ada dengan sebaik-baiknya. “Kami masih menunggu proses penyelesaian K.II apakah dapat dialksanakan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan,” pungkas Tumpak Hutabarat. “Sebaiknya kita menunggu dengan hati yang lapang,” jelas Tumpak Hutabarat.Judith/Subali

MENGAPA HONORER HARUS BUAT NPWP???


Senin, 3 Desember 2012 - 11:44
Oleh Muhamad Zainul Rohim, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Total gaji masih di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetapi mereka diharuskan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Adakah ini sebuah penggalian potensi perpajakan atau hanya menambah beban kerja para guru honorer dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)? Pikirin lagi deh!
Lika-liku guru honorer sudah bukan hal tabu lagi. Mereka yang dengan kedigdayaan dan keuletan terus mencoba meningkatkan pendidikan putra bangsa. Namun, mereka harus rela bertahun-tahun tetap menunggu kepastian kapan mereka diangkat sebagai bagian dari Pegawai Negeri Sipil. Selama masa penantian  yang tak tahu kapan ujungnya itu, mereka hanya bergelut dengan honor yang hanya di kisaran seratus hingga lima ratus ribu rupiah. Jelas tak mampu dibandingkan dengan jasa yang telah mereka berikan. Ironis memang.
Bak angin segar. Ratusan guru honorer di wilayah Tegal dan Brebes dijanjikan akan mendapat tunjangan dari dinas terkait sebesar tiga ratus ribu rupiah. Untuk beberapa kalangan, nilai tersebut bukan  hal yang besar, tetapi akan berbeda buat mereka yang dengan sabar mendapat honor pas-pasan. Tunjangan itu rencananya akan diberikan dengan sistem rapel tiga atau enam bulan sekali.
Untuk mereka yang paham tentang PTKP mungkin akan berpikir ulang dengan syarat yang harus dipenuhi oleh guru honorer tersebut. Guru honorer yang akan mendapatan tunjangan diharuskan memiliki NPWP. Petugas NPWP pun telah berusaha menjelaskan tentang PTKP dan lain hal kepada para guru honore tersebut. Namun, mereka tetap meminta untuk dibuatkan NPWP dengan berkata, “mau gimana lagi mba, kalau ga punya NPWP, tunjangannya ga bakal cair.” Dengan dimilikinya NPWP, mereka akan resmi sebagai Wajib Pajak. Namun, dengan total penghasilan yang umumnya masih di bawah PTKP, hendaknya kebijakan ini perlu ditelaah ulang.
Dengan total penghasilan yang umumnya masih di bawah PTKP ini, syarat untuk memiliki NPWP agaknya cukup berlebihan. Mereka masih belum dikenai pajak. Namun, dengan alasan karena dana berasal dari APBN, mereka diwajibkan memiliki NPWP. 
Dengan ketidakpastian kapan mereka akan diangkat, tentunya mereka harus terus melaksanakan kewajiban perpajakannya minimal melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tentu hal ini bukan perkara besar mengingat agenda ini hanya setahun sekali. Namun, akan menjadi sebuah persoalan ketika si guru honorer atas kelalaiannya lupa atau terlambat melaporkan SPT Tahunan. Sanksi sebesar seratus ribu rupiah tentunya akan menjadi persoalan yang cukup pelik untuk mereka dengan honor pas-pasan. Tambah lagi, dampak psikologi yang akan muncul yakni ketakutan yang berlebihan terhadap kewajiban perpajakan. Beberapa yang terjadi di lapangan adalah beberapa wajib pajak datang di akhir  periode perpajakan untuk melapor SPT Tahunan, sedangkan tahun pajak yang bersangkutan belum berakhir. Alasan mereka adalah jika nantinya telat atau lupa melapor SPT, sehingga selagi ingat mereka datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
DJP pun akan terkena imbaas, yakni peningkkatan beban kerja. Peningkatan beban kerja ini terjadi mulai dari pendaftaran NPWP yang menumpuk. Penumpukan ini berakibat pada bertambahnya jumlah jam kerja dan koordinasi yang matang untuk mengatur ruang TPT yang terbatas agar mampu menampung para pendaftar yang berjubel. Dampak selanjutnya adalah meningkatan jumlah SPT Tahunan yang akan diolah. Dengan alur DropBox yang cukup panjang, tentu saja pertambahan jumlah WP akan berpotensi meningkatkan beban kerja. Tambah lagi, jika ternyata banyak yang tidak melapor SPT Tahunan, KPP tersebut akan mendapat predikat tingkat kepatuhan terburuk.
Perlu sebuah dialog antara DJP dengan instansi terkait yang membuat kebijakan sehubungan dengan perpajakan. Dengan adanya pembicaraan antar instansi, diharapkan dapat ditemui titik temu yang lebih bijak untuk menengahi kondisi-kondisi di tiap instansi yang kadang berbeda. DJP perlu lebih aktif untuk menggali info-info terbaru tentang kondisi yang terjadi di masyarakat yang diantaranya lewat para pegawai di lini terdepan seperti petugas Pelayanan Terpadu (TPT). Selain itu, perlu juga peran serta masyarakat untuk lebih aktif memberikan info terkait perpajakan kepada DJP sehingga DJP semakin aktif membuat atau mengupgrade peraturan sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.
Kejadian lain yang hampir serupa adalah beberapa lembaga masyarakat juga diharuskan memiliki NPWP dikarenakan akan mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah. Seperti yang terjadi pada Taman Pendidikan AlQur’an (TPQ) Nurul Hidaya yang beralamat di Desa Pengabean Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal. Awalnya TPQ ini hanya berusaha mengajukan proposal dan berhasil mendapatkan bantuan sebesar sepuluh juta rupiah dengan syarat memiliki NPWP. Dengan dimilikinya NPWP dan TPQ tersebut masih berjalan, setelah dana habis dan kewajiban pajak terpenuhi, tentu saja pengurus TPQ harus terus melakukan kewajiban perpajakan lanjutan yakni melaporkan SPT Masa dengan status yang sama selama berbulan-bulan, yaitu NIHIL. Penghasilan mereka hanyalah berasal dari iuran dengan total sekitar empat ratus ribu rupiah. Jumlah ini didunakan untuk keperluan harian dan honor lima orang pengajar. Ketakutan mereka terus bertambah tatkala mereka lupa melapor SPT Masa atau Tahunan. Dari mana mereka mendapat dana seratus ribu atau satu juta rupiah jika lupa melapor SPT Masa atau Tahunan. Kebijakan ini dianggap terlalu berlebihan. Bisa dikatakan, “enaknya sebentar, repotnya tahunan!” hal serupa juga terjadi pada paguyuban-paguyuban yang akan dan telah mendapatkan bantuan. Untuk mereka yang telah berpengalaman, banyak yang berpendapat “lebih baik tidak mengajukan bantuan dari pada repot mengurus kewajiban perpajakan bertahun-tahun.”
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.